Komunikasi persuasif memiliki peran yang sangat penting dalam setiap aktivitas yang dilakukan oleh seorang public relations (PR). Praktisi public relations tidak hanya berperan sebagai narasumber yang menyampaikan informasi saja atau sekedar menjadi juru bicara yang mewakili suatu perusahaan/instansi.
Seorang praktisi public relations juga harus menggeluti dan menguasai aspek membujuk atau merayu (persuasion). Maka dari itu, sangat penting bagi seorang PR untuk memiliki kemampuan membujuk dan mampu mengimplementasikan metode komunikasi persuasif dengan baik.
Namun, perlu diingat bahwa membujuk dan merayu dalam PR bukan berarti membengkokkan kebenaran atau bahkan menghilangkan fakta yang ada. Aspek membujuk ini berhubungan dengan negosiasi, mempertimbangkan situasi dari sudut pandang lain, memahami dan mengantisipasi tantangan atau potensi masalah untuk mencapai hasil yang maksimal.
Lalu, bagaimana seorang PR dapat mencapai atau menguasai aspek ini dengan baik?
Robert Cialdini, dalam bukunya yang berjudul Influence: The Psychology of Persuasion menyebutkan bahwa ada enam prinsip (principle) dalam hal memengaruhi atau yang disebut dengan “Six Principles of Influence”.
1. The Principle of Liking (Prinsip Disukai)
Dua faktor penting untuk membangun hubungan yang baik adalah mencari kesamaan dan memberikan pujian. Namun, dua hal tersebut pun belum cukup. Untuk memenangkan hati seseorang, Anda harus menjadi orang yang menyenangkan dan disukai.
Aplikasikan Prinsip Disukai dalam hubungan dengan media, dalam membangun komunitas online, atau dalam penyelenggaraan suatu acara. Ajukan pertanyaan kepada publik, baik secara langsung maupun online, serta pantau jawaban mereka. Cari kesamaan atau kesukaan audiens dan berikan pujian yang tulus.
2. The Principle of Reciprocity (Prinsip Timbal Balik)
Hubungan timbal balik adalah hubungan ideal yang diingankan oleh manusia—layaknya simbiosis mutualisme. Timbal balik dalam dunia PR ditunjukkan dengan berbagi informasi dan membangun jaringsan serta komunitas dengan orang-orang dari berbagai kalangan.
Sebagai seorang PR yang mewakili suatu perusahaan, Anda tidak boleh menutup mata dan telinga terhadap pandangan dan respon audiens atau konsumen. Jadikan hubungan perusahaan dengan audiens saling bermanfaat, saling membantu, dan saling percaya.
3. The Principle of Social Proof
Social proof adalah suatu kondisi sosial di mana seseorang mengambil keputusan untuk melakukan sesuatu karena ada banyak orang yang telah mengambil keputusan yang sama. Prinsip Social Proof ini merupakan suatu hal yang konstan dalam dunia PR. Hal ini karena orang-orang akan selalu menilai sesuatu berdasarkan pengalaman, pencapaian, publikasi, atau koneksi yang sudah ada. PR dapat memanfaatkan kesempatan ini dengan mempublikasikan penghargaan dan keutamaan produk/layanan dalam rangka meningkatkan kredibilitas.
4. The Principle of Consistency (Prinsip Kekonsistenan)
Dalam PR, kekonsistenan memegang peran yang sangat penting sebagai dasar dari komunikasi baik secara eksternal (antara perusahaan/instansi dengan audiens/konsumen) maupun secara internal (antar orang-orang di perusahaan). Kekonsistenan dalam PR direfleksikan dengan memastikan komunikasi selalu terjalan dengan baik. Misalnya seperti mengingatkan audiens/konsumen untuk membaca newsletter perusahaan, menggelar press release setiap ada acara besar atau isu mengenai perusahaan, memastikan bahwa publik dapat terus mengakses berita harian/mingguan/bulanan mengenai perusahaan/instansi.
5. The Principle of Authority (Prinsip Wewenang)
PR yang profesional menunjukkan keahlian untuk medapatkan dukungan dalam strategi atau kampanye. Secara sederhana, seseorang yang menujukkan keahliannya secara profesional akan lebih banyak didatangi oleh orang-orang yang membutuhkan. Hal ini menunjukkan bahwa authority atau wewenang dapat diperoleh dari profesionalisme.
Praktisi PR dapat menggunakan media sosial untuk mendemonstrasikan jejak-jejak profesionalisme dan membujuk orang lain—baik secara langsung maupun tidak langsung—untuk membeli produk, menggunakan layanan atau berbagi konten.
6.The Principle of Scarcity (Prinsip Kejarangan/Kelangkaan)
Menurut Cialdini, berbagai studi telah menunjukkan bahwa sesuatu yang unik dan eksklusif menjadi lebih berharga karena semakin sedikit ketersediannya. Dalam PR, prinsip kejarangan/kelangkaan ini dapat diwujudkan dengan membangkitkan rasa urgensi untuk melakukan suatu tindakan. Seperti misalnya suatu penawaran khusus untuk
dengan ketersediaan yang dibatasi oleh waktu dan kuantitas.
Kelangkaan dan eksklusivitas sangat efektif untuk membujuk orang untuk membeli, berpartisipasi atau membagikan karena takut tidak mendapatkan kesempatan di lain waktu. Perlu diperhatikan juga untuk tidak pernah membuat penawaran yang menipu. Di sini lah, PR harus berhati-hati karena kebohongan yang diketahui oleh publik dapat menjadi senjata yang menghancurkan citra suatu perusahaan/instansi.