Pernahkah kamu melihat banyak orang di media sosial berbondong-bondong memboikot seseorang atau suatu brand karena kesalahan atau pelanggaran tertentu?
Fenomena yang disebut generasi muda sebagai tindakan cancel ini pun berkembang di media sosial menjadi suatu kebiasaan dan budaya.
Artikel ini akan membahas tentang cancel culture yang semakin marak kita lihat di kehidupan sehari-hari. Apa itu cancel culture dan apakah budaya ini membahayakan atau malah membantu banyak orang?
Definisi dan Perkembangan Cancel Culture
Cancel culture merupakan suatu istilah modern yang muncul sejak tahun 2010-an. Istilah ini merujuk pada budaya di mana pihak yang telah bertindak atau berbicara dengan cara yang tidak dapat diterima akan dikucilkan, dijauhi, dan bahkan diboikot.
Budaya pemboikotan ini juga telah banyak digunakan dalam beberapa gerakan lain seperti gerakan #MeTooMovement yang mendorong perempuan dan laki-laki untuk memanggil pelaku kekerasan di forum publik, serta gerakan Black Lives Matter yang menyoroti rasisme, diskriminasi, dan ketidaksetaraan yang dialami komunitas kulit hitam.
Bentuk budaya satu ini yang paling mudah dikenali adalah serangan cyber kepada yang “terdakwa”. Seseorang akan memulai penyerangan dengan membuka tindakan/perkataan buruk orang yang bersangkutan.
Penyerangan tersebut nantinya akan diikuti oleh orang-orang lainnya hingga akhirnya akan dilakukan pemboikotan. Tidak hanya public figure, brand atau perusahaan terkenal juga rentan terkena budaya pemboikotan ini.
Di Indonesia sendiri, budaya ini merupakan fenomena urban yang eksis pada sekitar tahun 2019. Laporan Google Trends menyebutkan bahwa fenomena ini masih terpusat di Pulau Jawa yang memiliki perkembangan digital literature yang dinamis.
Efek cancel culture pun beragam. Efek yang paling parah adalah dapat membuat orang yang bersangkutan mundur atau pensiun dari suatu jabatan atau bahkan dipecat secara tidak hormat.
Peran Media Sosial dalam Cancel Culture
Media sosial memiliki peran penting dalam perkembangan cancel culture. Hal tersebut dikarenakan fungsi media sosial sebagai sarana utama dalam penyebaran informasi dan berita terkini.
Menurut The Gallery, generasi Z atau Gen Z telah menemukan dan melanggengkan budaya pemboikotan melalui media sosial.
Dengan bantuan media sosial, meng-cancel seseorang menjadi lebih mudah. Infromasi dan berita bisa tersebar secara cepat dari satu platform ke platform yang lainnya.
Maka dari itu, media sosial menjadi faktor utama dalam perkembangan dan pelanggengan budaya pemboikotan di masyarkaat saat ini.
Pro dan Kontra Cancel Culture
Budaya pemboikotan atau upaya menarik dukungan untuk pihak yang bersangkutan pada dasarnya memang memiliki tujuan yang baik, khususnya bagi mereka yang benar-benar menjadi korban.
Meskipun begitu, budaya satu ini juga memiliki potensi yang sangat besar untuk merusak kehidupan seseorang dan bahkan kondisi mental orang tersebut.
Berikut kami sudah merangkum tiga pro/manfaat dan kontra/kerugian hadirnya cancel culture di media sosial.
Manfaat (Pro)
- Memungkinkan orang-orang yang terpinggirkan untuk mencari pertanggungjawaban, khususnya ketika mereka digagalkan oleh sistem peradilan
- Memberikan suara kepada orang-orang yang haknya telah dicabut secara paksa atau korban yang tidak memiliki kuasa dan ditekan oleh yang lebih berkuasa
- Dapat menjadi taktik baru untuk menjunjung tinggi hak-hal sipil, serta mendorong terjadinya perubahan sosial
Kerugian (Kontra)
- Menimbulkan intimidasi online dan bahkan, memicu kekerasan atau ancaman yang lebih besar daripada pelanggaran yang telah dilakukan
- Dapat menjadi gerakan yang tidak produktif dan tidak mendorong pada perubahan sosial
- Dapat mengarah pada intoleransi dalam masyarakat dan mengecualikan atau mengucilkan setiap orang yang tidak setuju dengan pandangan publik secara luas
Baca Juga: Tips Memilih KOL dan Influencers Bagi Brand
Bagaimana Cara Menyikapi Cancel Culture?
Sebagai pengguna media sosial, sebaiknya kita selalu bijak dalam menyikapi berita atau informasi apapun yang ada di media sosial.
Terkadang, berita yang kita lihat di berbagai platform media sosial itu tidak sesuai atau bahkan sengaja dipalsukan untuk menyudutkan suatu pihak.
Tujuan cancel culture memang bagus, namun akan lebih baik lagi jika kita melihat atau melakukan riset terhadap pelanggaran yang dilakukan oleh orang yang diboikot. Dengan begitu, kita dapat menilai secara objektif dan tidak melakukan pemboikotan secara semena-mena.
Untuk perusahaan dan bisnis, cancel culture dapat berdampak pada reputasi atau citra yang telah dibangun. Pemboikotan tersebut juga biasanya dimulai dari konsumen atau pelanggan yang tidak puas atau merasa dirugikan dan pada akhirnya, tersebar melalui media sosial.
Maka dari itu, perusahaan dan bisnis harus selalu siaga dan waspada dengan hal-hal kecil yang dapat berpotensi menjadi krisis hingga bahkan pemboikotan.
Mari menjadi pengguna media sosial yang bijak dan adil!